Dinihari pagi ini, di dapur rumah yang berfungsi jadi dapur umum tempat masak untuk jamuan makan perayaan Natal nanti di gereja. Mbokde Wagiyem dan Mbak Yem sibuk berkutat dengan api di tungku kayu dan memanaskan air, menanak nasi dan nggoreng ayam. Sementara dari kejauhan mengiring lantunan dzikir menjelang subuh, mereka berdua sibuk untuk membagikan tenaga mereka untuk suksesnya acara nanti. Mungkin tidak banyak yang menghargai, menghitung kerja keras jerih payahnya, ya meskipun mereka akan dibayar tenaganya untuk pekerjaan memasaknya namun bagi saya yang menyaksikan mereka subuh ini membawa saya dalam proses perenungan tersendiri.
Ah…mungkin ribuan tahun yang lalu para penduduk Bethlehem sengaja tidur cepat karena besok ada sebuah acara besar yang pertama kali di adakan, sensus penghitungan dan pencatatan penduduk. Jadi mereka beristirahat lebih cepat. Para pemilik penginapan, warung dan toko-toko juga sudah pada tutup menjelang malam, selain tamu sudah penuh tampaknya rasa capek mengalahkan rasa untuk pasangan Yusuf dan Maria yang hendak menginap. Bersyukurlah seseorang yang masih punya hati meminjamkan sebuah kandang, iya bekas kandang, sementara Yusuf sibuk membersihkan kandang untuk bisa di pakai merebahkan badan, di satu sisi Maria sedang mengerang, menahan sakit untuk melahirkan. Ternyata memang tidak ada penyalaan lilin dan hiasan pohon Natal juga kerlap-kerlip lampunya. Mungkin hanya sekedar lampu penerang kecil untuk tetap terlihat dan tak tersandung di kandang itu. Tidak ada suara gelegar sound system dan iringan musik juga lagu…ah biarlah. Apa mungkin malaikat lupa mengirim tim untuk dokter kandungan, dokter anak, pemain musik plus sound system dan lighting? Ahaa…bisa jadi ini yang saya sebut konspirasi surgawi. Oh ya? Saya tidak menuduhnya demikian, prasangka saya jelas tidak beralasan kalau pihak surgawi sengaja membiarkan kesusahan ini terjadi. Tidak….ini pasti memang di wujudkan menjadi proses yang alami dan manusiawi.
Sementara momen Natal sebenarnya bagi Maria adalah momen antara hidup dan mati menghadapi proses persalinannya sendirian. Sementara Yusuf … Saya susah menggambarkannya! Saya tahu rasanya bagaimana menunggui istri saya melahirkan. Tegang! Tidak disebutkan berapa lama prosesnya bayi Yesus keluarga dari rahim Maria, berapa lama perjuangannya disuasana remang dam dingin malam itu. Tidak ada dukun bayi, bidan atau pemilik kandangnya sendiri yang bersaksi. Tidak mengusik hati kita bahkan, ya memang kadang momen sebenarnya itu terlupakan. Kandang, palungan dan kain lampin sekarang bisa terpasang jadi sebuah hiasan dan simbol sukacita namun banyak hati yang tidak jatuh dalam meruntut proses surgawi yang terjadi. Lampu dan dekorasi terpasang menarik mata namun pergulatan surga memproses Tuhan menjelma manusia … kita malah kehilangan rasa.
Sudah….sudah…cukup Amos, cukup kamu menilai dan mengeluh dalam rangkaian tulisanmu. Seharusnya kamu bekerja sekarang, kerjakan bagianmu…kerjakan bagianmu untuk “melahirkan Yesus” dalam setiap kehidupan yang kamu jalani. —- (percakapan di otak dan hati saya membuat penekanan! )
Mbokde Wagiyem dan Mbak Yem memang nggak ngerti kenapa Yesus jadi manusia, lahir dan diperingati dengan namanya Natalan. Di buatkan acara dan masak memasak untuk santap hidangan bersama. Lha kenapa harus Natalan? Kenapa harus sibuk untuk Natalan? Sibuk mikirin perayaan, baju baru, penampilan, isi acara, makanan dan dekorasi tapi lupa. Itu hati jadi kandang. Iya jadi kandang tempat lahirnya Yesus, bukan di gedung gereja, bukan diperayaan, bukan di jamuan makan. Itu yang namanya hidup jadi palungan yang lampin pembungkus bayi Yesus. Sejelek, kotor dan bau apapun hidup ini, kita tetap di pakai untuk kemulianNya.
Mereka sibuk di dapur, jemaat sibuk sekali hari ini hendak menikmati perayaan besar, pesta kelahiran Sang Juru Selamat. Menata kursi sampai hati . Dan saya menyibukkan diri, ah…”sekedar sibuk” membersihkan diri menjadi kandang yang layak untuk kelahiranNya.
#catatan Natalan di kampung halaman